Kamis, 08 Juli 2021

Dari Puncak Goh Leumo

KS family camp siap menuju Goh Leumo


Siapapun akan menyukai keindahan alam. Tapi momen untuk menikmati keindahan alam suatu tempat akan berbeda-beda pada setiap orang. Kali ini aku berkesempatan untuk ikut mendaki Gunung Goh leumo dan melihat keindahan kota Banda Aceh dan Aceh Besar dari ketinggian sekitar 800 mdpl.

Awalnya suamiku di ajak oleh sebuah lembaga pendidikan Bintang Kecil untuk mengadakan family camp. Aku memang suka jalan-jalan kaki. Cuma kalau naik gunung bisa dibilang belum pernah. paling juga naik bukit aja di sekitar rumah dan sekolah dulu waktu main-main di masa kecil. 

Aku mengiyakan. Bagiku... memandang dan menikmati alam merupakan hal yang menyenangkan sekali. Rasanya kalau ada gundah dan bosan bisa hilang. Seperti terlahir kembali dan bahkan seperti.. Tuhan sedang berbicara dengan kita. Hm.. aku agak lebay kalo udah cerita hehe..

Akhirnya kami memulai pendakian ini. Terus terang aku kagum dan terkesima dengan struktur tanah bebatuan yang ditumbuhi berbagai pohon dengan akar yang menjuntai kuat. Batang pohon yang meliuk-liuk seolah memang mengundang manusia untuk datang dan ingin membantu petualangan. Dengan berpegang pada pangkal batang pepohohan dan akar-akar gantungnya, kami memulai perjalanan dan memanjat tanah bebatuan.


 Ali sedang melompati tanah berbatu dengan bantuan ranting kayu yang meliuk liuk..


Awalnya.. aku merasa cukup prima. Walaupun mulai haus, aku mencoba menahan untuk tidak minum dulu. Selain khawatir tubuh bakal terlalu rileks sehingga jadi mudah capek, persediaan air pun sangat terbatas. Dengan jarak tempuh sekitar lima jam mendaki untuk pemula seperti aku ini, tentu membawa air akan menambah beban. Apalagi kabarnya di puncak gunung memang tidak ada sumber air.

Berapa lama sekali kami istirahat. Rasanya tak sanggup lagi untuk menahan haus. Air minum mulai beredar. Akupun mulai minum seteguk-seteguk. Mencicipi air.. berusaha agar tak keenakan. Stok air minum untuk perjalanan pendakian cepat menipis.

Sekitar tiga jam perjalanan, sepertinya kelelahan sudah mulai memuncak. Dan.. tidak lama kami menemukan sebuah kolam air yang mengalir kecil. Suamiku langsung berinisiatif untuk menampung air di permukaannya dan langsung meneguknya. Awalnya aku terpana. Itukan air mentah? Tapi namanya juga ke gunung dan air jernih di kolam seperti ini InsyaAllah aman. Kami pun menambah stok air minum, tapi tentu tak bisa banyak karena akan sangat berat dengan medan pendakian yang mulai terjal ini. Akupun menyadari, begitu berharganya sumber-sumber air yang sangat vital bagi kehidupan. Itu sebabnya kita semua wajib menjaga sumber-sumber air ini agar tidak tercemar.

Kolam kecil di tengah hutan menuju puncak Goh Leumo menjadi stok air bagi para pendaki 


Akhirnya kami tiba di sebuah puncak bukit yang sedikit datar, dikelilingi kebun dan pohon duren. Ada pondok yang sepertinya di bangun untuk istirahat para pekebun. Kami istirahat. Para bapak bahkan sempat membuat sedikit kopi. Kami para emakpun dapat jugalah menggilir dan meneguk kopi itu. Kukira kami akan segera tiba dan menuntaskan pendakian ini. Karena aku sudah lelah. Anak-anak mulai bermain kayu dan perang-perangan. Energi masa kecil memang luar biasa.

Perjalanan memang tak jauh lagi. Setelah melanjutkan perjalanan sekitar sejam lagi dan beristirahat lagi di sebuah pondok yang hampir rubuh, kurasa inilah hal yang benar-benar menantang. Pertama-tama, jejak setapak berada di pinggir jurang. Karena begitu banyak pohon, aku pun bingung memastikan jejak yang harus ditempuh. Waktu itu aku bertiga dengan suami dan Zahra. Aku mulai ragu dengan jalur yang kami tempuh. Tapi suara peserta yang lain memastikan mereka juga tak jauh dari situ. Kedua, jalan mulai menanjak curam. Dengan sisa-sisa tenaga dan terus berzikir, kami terus memanjat tanah berbatu cadas itu. Kami  harus memanjat sambil bergelantungan pada akar gantung yang panjang. Nafasku tersengal-sengal. Sesekali kulihat ke belakang, tampaklah lereng curam dan jurang yang sudah dilewati. Aku menelan ludah membayangkan yang ngeri. Entah emosi apa yang berkecamuk dalam perasaanku. Walaupun seru dan mengejutkan, tentu ini agak sedikit di luar dugaan. Ketiga adalah yang terparah menurutku. Selain lereng curam, Tutupan lahan yang bagus menyebabkan tanah menjadi gembur, sehingga batu-batu cadas itu tak bisa dijadikan pegangan karena mudah lepas dan patah. Suamiku mengingatkan agar aku berhati-hati dan terus memandu jalur didepanku. Aku sempat bergidik ketika sebuah batu lepas di atasku dan menggelinding ke arahku lalu menyentuh kakiku. Aku berzikir dalam hati agar aku tetap kuat. Hampir mau nangis sebenarnya. Tapi aku bertekad harus kuat. 

Ternyata medan ekstrim itu memang sedikit lagi saja menuju posko kemah di sebuah puncak datar. Beberapa anak yang luar biasa sudah tiba dan mulai beristirahat sambil bersiap mendirikan tenda menjelang malam. Dengan zikir dan arahan tim pemandu, aku terus merogoh batang dan akar pohon yang mencuat di tanah, sampai akhirnya tibalah aku di posko. Ya Allah.. tak terbayang perasaanku waktu itu. Lega, lelah, senang dan terharu. hampir menangis.. ya hampir... 😳

Malam itu, kami beristirahat. Makan malam sekedarnya. Sholat dengan tayammum.. Dan.. menyiasati buang air sebisanya. Aku tak berani makan dan minum. Sepotong roti kumakan untuk menetralkan lapar dan beberapa teguk air. Aku berusaha mengendalikan sistem pencernaan agar jangan terlalu aktif dan lancar..😉. 

Ada perasaan bahagia memang. Apalagi ketika membayangkan bagaimana lelah dan sulitnya pendakian tadi yang telah terlewati. Kepalaku yang suka merenung menyimpulkan bahwa itulah kehidupan, harus ada yang benar-benar diperjuangkan. Entah kenapa aku tak bisa tidur malam itu. Sedikitpun tidak. Selain badanku mulai pegal-pegal, aku menatap saja pepohonan, meresapi bahwa aku benar-benar sedang di hutan. Saat itu bulan setengah. Sesekali tampak cahaya lampu berkedip indah dari kejauhan yang terhalang pepohonan. Itulah kota Banda Aceh di bawah sana. Tak terkejar lagi kami menuju puncak utama dengan pemandangan yang luas dan indah. Jadi kami menundanya besok pagi.

Posko perkemahan di atas gunung Goh Leumo


Keesokan harinya, setelah sholat subuh kami menuju puncak utama untuk menikmati pemandangan. Alhamdulillah, setelah istirahat dan melewati medan lereng curam berbatu ketika pendakian kemarin, rasanya perjalanan menuju puncak ini jauh lebih ringan dengan panorama hutan yang begitu menakjuban.

Menikmati pemandangan hutan menuju puncak gunung di pagi hari

Setelah satu jam mendaki lagi, sampailah kami di puncak utama Gunung Goh Leumo dengan pemandangan yang sangat indah. Bahagia dan takjub tentunya. Terbayarkan kelelahan dan kesulitan pendakian yang telah kami lewati melihat pemandangan geografis kota Banda Aceh berbatas puncak Gunung Seulawah Agam dan pantai Lhoknga dihiasi perbukitan beradu awan. Semua tersenyum senang dan berfoto untuk mengabadikan momen ini.

Panorama Kota Banda Aceh

Panorama perbukitan Aceh Besar

Panorama Pantai Lhoknga


 Aku menyempatkan untuk berdoa sejenak di hadapan pemandangan yang indah itu. Ini adalah sebuah anugerah dari Allah. Aku bukanlah  seorang pendaki gunung. Tapi kesukaanku dengan panorama alam, akhirnya mempertemukan aku dengan teman-teman luar biasa yang mengajak bersama untuk tafakkur alam. Dan tentu bagiku sendiri ini adalah sebuah pencapaian. Di hadapan  Gunung, kota, perbukitan dan laut, aku berdoa untuk kedua orangtua yang jauh dariku, adikku di perantauan yang positif Covid, kebaikan anak-anak dan untuk apapun dan siapapun dalam kehidupan ini. Semoga semua pemandangan ini menjadi saksi dan mengamini.

Tak lama kami bergerak untuk kembali ke posko bersiap untuk pulang setelah sarapan pagi. Aku masih mencoba menahan hasrat makan dan minum. Hikmahnya.., aku belajar mengendalikan diri padahal bukanlah berpuasa. Aku senang dengan latihan ini. Kadang kita sulit menahan diri untuk sesuatu yang sebenarnya kita butuh padahal boleh dan tersedia di depan kita. Aku agak amazing😀 Suamiku menyuapi aku nasi, karena aku tidak beranjak sarapan. Dan beliau berbagi dengan Zahra.

Lelah dan lemas masih menjalar di tubuhku. Agak tertekan aku membayangkan bagaimana menuruni lereng terjal berbatu kemarin dengan kondisi begini. Namun Alhamdulillah..., suami membantu mengarahkan dan membantu mencari jalur aman dengan sedikit bebatuan. Tak pikir panjang aku segera duduk dan mengesot membiarkan gravitasi dan massa tubuh membantuku menuruni lereng sambil tetap berpegang pada batang dan akar pohon. Meski kaki kiriku sempat terpelekok, akhirnya sampailah kami menuruni gunung, bukit dan tiba di perkampungan dengan selamat.

Kami sekeluarga menyempatkan diri untuk membasuh diri dengan air laut di pantai Ujung Pancu yang tak jauh dari situ. Setelah itu kami pun beranjak pulang. Aku benar-benar terkesan dengan perjalanan ini. Selain memang menguji fisik dan emosi, juga dibutuhkan kebersamaan, saling mendukung dan kesadaran untuk mendekat pada Sang pencipta. Itulah hikmah terbesarnya. 

Tentu bagi kalian yang terbiasa menguras stamina dan ingin belajar bertualang untuk pemula dengan sedikit tantangan, boleh mencoba pendakian ini.. gimana..?


Para emak yang ikut pendakian.. gimana menurut kalian..?



 

Senin, 20 Juli 2015

Filosofi Makan

MAKAN adalah hal biasa dan kita tentu sudah sangat akrab dengan kegiatan ini. Tanpa perlu diajarkan pun, sejak terlahir menjadi seorang bayi kita sangat paham, bahwa kita butuh makan. Namun karena sudah biasa, kegiatan makan sering tak lagi penting dijadikan perhatian, sehingga banyak orang melakukan aktifitas ini secara serampangan. Makan sering hanya dianggap sebagai sarana agar merasa nyaman dan tidak lapar. Makan sering dijadikan aktifitas hura-hura dalam acara-acara besar, menjadi kegiatan iseng-iseng ketika sedang melakukan aktifitas lain, bahkan sering pula menjadi aktifitas pelarian ketika sedang bosan.

Selasa, 23 Juni 2015

Melirik Ibnu Rusydi (2)

 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.Al-Baqarah:164)

Melirik Ibnu Rusydi (1)

Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu.” (QS. Al-Anfal: 46)